Powered By Blogger
S'LAMAT DATANG DAN S'LAMAT MEMBACA....Mulailah Segala Sesuatu Dengan Senyuman ^__^

Minggu, 17 Oktober 2010

Ada Yang Memperhatikan Kita

 
Seluruh penumpang di dalam bus merasa simpati melihat seorang wanita
muda dengan tongkatnya meraba-raba menaiki tangga bus. Dengan
tangannya yang lain dia meraba posisi di mana sopir berada, dan
membayar ongkos bus. Lalu berjalan ke dalam bus mencari-cari bangku
yang kosong dengan tangannya. Setelah yakin bangku yang dirabanya
kosong, dia duduk. Meletakkan tasnya di atas pangkuan, dan satu
tangannya masih memegang tongkat.

Satu tahun sudah, Yasmin, wanita muda itu, mengalami buta. Suatu
kecelakaan telah berlaku atasnya, dan menghilangkan penglihatannya
untuk selama-lamanya. Dunia tiba-tiba saja menjadi gelap dan segala
harapan dan cita-cita menjadi sirna. Dia adalah wanita yang penuh
dengan ambisi menaklukan dunia, aktif di segala perkumpulan, baik di
sekolah, rumah maupun di linkungannya.
Tiba-tiba saja semuanya sirna, begitu kecelakaan itu dialaminya.

Kegelapan, frustrasi, dan rendah diri tiba-tiba saja menyelimuti
jiwanya. Hilang sudah masa depan yang selama ini dicita-citakan.
Merasa tak berguna dan tak ada seorangpun yang sanggup menolongnya
selalu membisiki hatinya. “Bagaimana ini bisa terjadi padaku?” dia
menangis. Hatinya protes, diliputi kemarahan dan putus asa. Tapi, tak
peduli sebanyak apa pun dia mengeluh dan menangis, sebanyak apa pun
dia protes, sebanyak apapun dia berdo’a dan memohon, dia harus tahu,
penglihatannya tak akan kembali. Di antara frustrasi, depresi dan
putus asa, dia masih beruntung, karena mempunyai suami yang begitu
penyayang dan setia, Burhan.

Burhan adalah seorang prajurit TNI biasa yang bekerja sebagai security
di sebuah perusahaan. Dia mencintai Yasmin dengan seluruh hatinya.
Ketika mengetahui Yasmin kehilangan penglihatan, rasa cintanya tidak
berkurang. Justru perhatiannya makin bertambah, ketika dilihatnya
Yasmin tenggelam ke dalam jurang keputus-asaan. Burhan ingin menolong
mengembalikan rasa percaya diri Yasmin, seperti ketika Yasmin belum
menjadi buta. Burhan tahu, ini adalah perjuangan yang tidak gampang.
Butuh extra waktu dan kesabaran yang tidak sedikit.
Karena buta, Yasmin tidak bisa terus bekerja di perusahaannya. Dia
berhenti dengan terhormat. Burhan mendorongnya supaya belajar huruf
Braile. Dengan harapan, suatu saat bisa berguna untuk masa depan. Tapi
bagaimana Yasmin bisa belajar? Sedangkan untuk pergi ke mana-mana saja
selalu diantar Burhan? Dunia ini begitu gelap. Tak ada kesempatan
sedikitpun untuk bisa melihat jalan. Dulu, sebelum menjadi buta, dia
memang biasa naik bus ke tempat kerja dan ke mana saja sendirian. Tapi
kini, ketika buta, apa sanggup dia naik bus sendirian? Berjalan
sendirian? Pulang-pergi sendirian? Siapa yang akan melindunginya
ketika sendirian? Begitulah yang berkecamuk di dalam hati Yasmin yang
putus asa.

Tapi Burhan membimbing jiwa Yasmin yang sedang frustasi dengan sabar.
Dia merelakan dirinya untuk mengantar Yasmin ke sekolah, di mana
Yasmin musti belajar huruf Braile. Dengan sabar Burhan menuntun Yasmin
menaiki bus kota menuju sekolah yang dituju. Dengan susah payah dan
tertatih-tatih Yasmin melangkah bersama tongkatnya. Sementara Burhan
berada di sampingnya. Selesai mengantar Yasmin dia menuju tempat
dinas. Begitulah, selama berhari-hari dan berminggu-minggu Burhan
mengantar dan menjemput Yasmin. Lengkap dengan seragam dinas security.
Tapi lama-kelamaan Burhan sadar, tak mungkin selamanya Yasmin harus
diantar; pulang dan pergi. Bagaimanapun juga Yasmin harus bisa
mandiri, tak mungkin selamanya mengandalkan dirinya. Sebab dia juga
punya pekerjaan yang harus dijalaninya. Dengan hati-hati dia
mengutarakan maksudnya, supaya Yasmin tak tersinggung dan merasa
dibuang. Sebab Yasmin, bagaimanapun juga masih terpukul dengan musibah
yang dialaminya.

Seperti yang diramalkan Burhan, Yasmin histeris mendengar itu. Dia
merasa dirinya kini benar-benar telah tercampakkan. “Saya buta, tak
bisa melihat!” teriak Yasmin. “Bagaimana saya bisa tahu saya ada di
mana? Kamu telah benar-benar meninggalkan saya.” Burhan hancur hatinya
mendengar itu. Tapi dia sadar apa yang musti dilakukan. Mau tak mau
Yasmin musti terima. Musti mau menjadi wanita yang mandiri.
Burhan tak melepas begitu saja Yasmin. Setiap pagi, dia mengantar
Yasmin menuju halte bus. Dan setelah dua minggu, Yasmin akhirnya bisa
berangkat sendiri ke halte. Berjalan dengan tongkatnya. Burhan
menasehatinya agar mengandalkan indera pendengarannya, di manapun dia
berada. Setelah dirasanya yakin bahwa Yasmin bisa pergi sendiri,
dengan tenang Burhan pergi ke tempat dinas.
Sementara Yasmin merasa bersyukur bahwa selama ini dia mempunyai suami
yang begitu setia dan sabar membimbingnya. Memang tak mungkin bagi
Burhan untuk terus selalu menemani setiap saat ke manapun dia pergi.
Tak mungkin juga selalu diantar ke tempatnya belajar, sebab Burhan
juga punya pekerjaan yang harus dilakoni. Dan dia adalah wanita yang
dulu, sebelum buta, tak pernah menyerah pada tantangan dan wanita yang
tak bisa diam saja. Kini dia harus menjadi Yasmin yang dulu, yang
tegar dan menyukai tantangan dan suka bekerja dan belajar.

Hari-hari pun berlalu. Dan sudah beberapa minggu Yasmin menjalani
rutinitasnya belajar, dengan mengendarai bus kota sendirian. Suatu
hari, ketika dia hendak turun dari bus, sopir bus berkata, “Saya
sungguh iri padamu”. Yasmin tidak yakin, kalau sopir itu bicara
padanya. “Anda bicara pada saya?”
” Ya”, jawab sopir bus. “Saya benar-benar iri padamu”. Yasmin
kebingungan, heran dan tak habis berpikir, bagaimana bisa di dunia
ini, seorang buta, wanita buta, yang berjalan terseok-seok dengan
tongkatnya hanya sekedar mencari keberanian mengisi sisa hidupnya,
membuat orang lain merasa iri?
“Apa maksud anda?”
Yasmin bertanya penuh keheranan pada sopir itu.
“Kamu tahu,” jawab sopir bus, “Setiap pagi, sejak beberapa minggu ini,
seorang lelaki muda dengan seragam militer selalu berdiri di seberang
jalan. Dia memperhatikanmu dengan harap-harap cemas ketika kamu
menuruni tangga bus. Dan ketika kamu menyebrang jalan, dia perhatikan
langkahmu dan bibirnya tersenyum puas begitu kamu telah melewati jalan
itu. Begitu kamu masuk gedung sekolahmu, dia meniupkan ciumannya
padamu, memberimu salut, dan pergi dari situ. Kamu sungguh wanita
beruntung, ada yang memperhatikan dan melindungimu”.

Air mata bahagia mengalir di pipi Yasmin. Walaupun dia tidak melihat
orang tersebut, dia yakin dan merasakan kehadiran Burhan di sana. Dia
merasa begitu beruntung, sangat beruntung, bahwa Burhan telah
memberinya sesuatu yang lebih berharga dari penglihatan. Sebuah
pemberian yang tak perlu untuk dilihat; kasih sayang yang membawa
cahaya, ketika dia berada dalam kegelapan.
(Anisa Riyanti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar