5 tahun sudah penyakit ini bersarang
di kepala ku, menggerogotinya hingga kini menjelang tahunnya yang ke-6.
Tak jarang keputusasaan menghampiri ku hingga pertanyaan-pertanyaan itu
menyerang pikiran ku.
”Ya Allah…mengapa cobaan ini harus aku yang
menerimanya? Mengapa ya Allah Kau menilai ku mampu menghadapi ujian
ini? Kenapa…kenapa…kenapa ya Rabb????? Aku sudah tak sanggup…”
butiran-butiran air mata itu mengalir deras dari mata ku
Hampir
setiap hari selama 1 tahun terakhir aku menangisi kondisi ini. Setelah 4
tahun aku berusaha bersabar dan menguatkan hati dalam menghadapi
semuanya. Namun, kini… tak bisa ku pungkiri keputusasaan perlahan
mengikiskan kepercayaan ku akan kedatangan pertolongan dari-Nya.
Astaghfirullah… aku sudah tidak sanggup lagi melihat tetesan air mata
ibu yang setiap hari dengan sabar mengurus dan merawat ku.
Ayah…pengorbanannya untuk membiayai pengobatan ku sudah sangat banyak.
Terlalu banyak materi yang dikeluarkan oleh ayah untuk mengobati
penyakit ini, bahkan tanah satu-satunya warisan dari mbah pun harus
dijual untuk mengobati penyakit ku. Padahal tanah itu….tanah itu
seharusnya menjadi tabungan ayah dan ibu pergi haji tahun depan, namun
demi aku anak satu-satunya ayah rela dan ikhlas menukarnya untuk biaya
operasi ku 3 bulan yang lalu. Walau kini ternyata kondisi ku tidak
mengalami perubahan yang signifikan.
Bahkan kini di saat usia mereka
yang sudah mulai senja akulah yang seharusnya merawatnya.
Ayah…Ibu…mereka sedikit pun dia mengeluhkan penyakit yang sudah
bertahun-tahun ada dalam diri ku. Aku menangis sejadi-jadinya bila ku
ingat kesabaran mereka merawatku yang hanya bisa berbaring lemah ini.
Aku
juga sering membayangkan, seharusnya di usia ayah dan ibu saat ini,
mereka sudah bisa menimang cucu dari rahim ku. Sedih rasanya saat
melihat ibu bermain dengan anak tetangga ku yang sering datang ke rumah
setiap hari, usianya baru sekitar 3 tahun. Lucu dan
menggemaskan…bayangan dalam benak ku selalu membuatku merasa bersalah.
Andai saja anak itu adalah anak ku dan cucu dari ayah dan ibu ku. Ya
Allah apakah terlalu berlebihan jika aku memikirkan hal itu. mana ada
lelaki yang ingin menikah dengan ku??? Wanita dengan penyakit kanker
otak stadium 3 dan kini usia ku sudah tidak lagi muda.
Rabbi…aku
tak sanggup lagi…aku tidak ingin menyusahkan mereka…Izinkan aku
berbakti…aku ingin membahagiakan mereka kedua orang tua ku yang sangat
ku sayangi…!!!
Setiap pagi saat membawakan sarapan pagi untuk
ku, ibu selalu mengatakan hal yang sama dengan tatapan wajah teduhnya
dan senyum yang menenangkan sambil mengusap kepala ku
”Sabar ya
nduk…ini hanya ujian kecil yang Allah berikan. Ibu yakin sebentar lagi
kamu pasti sembuh. Ibu yakin…ibu yakin…Allah tidak akan membebani kita
di luar kemampuan kita”
Selalu itu yang ibu katakan selama 5 tahun
ini. Jika sudah seperti itu, aku hanya bisa terdiam, menangis dan
menghambur ke pelukannya. Kehangatan hatinya menenangkan hati ku yang
terlalu rapuh untuk menerima kenyataan ini.
Pagi ini…seperti biasa
saat ibu mengantarkan sarapan pagi ke kamar ku dan mengatakan hal sama,
kali ini aku mencoba perlahan berbicara padanya. Sambil memegang erat
kedua tangannya dengan kepala tertunduk lisan ku mulai berkata.
”bu…maafin
ana ya. Ana belum bisa berbakti…ana belum bisa menjadi anak yang baik.
Ana hanya bisa menyusahkan ibu dan ayah sejak saja ana kecil.” air mata
ku mengalir deras…aku lihat ibu pun begitu…perlahan tangannya mengangkat
wajah ku dan mengusap air mata ku.
Ku lihat kehangatan terpancar dari matanya yang tak pernah sedikit pun mengeluhkan kondisi ku…
”sabar
ya nduk…” ibu memandang wajah ku dengan penuh cinta dan senyuman.
Ya…cinta seorang ibu yang tak pernah lekang oleh waktu. Perlahan…aku
membalas senyumnya membalasnya dengan sebuah candaan.
”Bu…seharusnya,
aku sudah bisa memberikan ayah dan ibu cucu ya. Tapi…dengan kondisi
seperti ini bagaimana bisa. Mana ada yang mau ya bu sama perempuan
penyakitan seperti aku ini, ditambah lagi usia ku yang sudah menginjak
kepala tiga.” berat rasanya ketika aku harus mengatakan semua kenyataan
itu. Tapi lagi-lagi ibu berhasil menenangkan hati ku.
”Ana anak
ibu tersayang…sudah kamu tidak usah memikirkan hal itu. Ibu sudah cukup
bahagia dengan kondisi saat ini. Ibu dan Ayah sudah merasa cukup bahagia
bisa membesarkan mu, berhasil menguliahkan mu hingga sarjana dan lebih
dari itu, ibu bangga memiliki putri seperti mu yang shalihah dan sabar
dalam menghadapi ujian dari-Nya. Nak…kamulah sebenarnya yang memberikan
kekuatan bagi ayah dan ibu untuk terus bertahan sampai hari ini. Kamu
yang sebenarnya mengajarkan pada kami mengenai kesabaran dan arti hidup
yang sesungguhnya….Ibu dan Ayah bangga memiliki anak seperti mu…” ku
lihat linangan air mata itu, begitu sendu.
Tak tahan rasanya aku
mendengar ucapan ibu, aku memeluknya erat-erat. Kini…tetesan air mata
itu sudah berubah menjadi air hujan yang tak tertahankan lagi. Ya
Rabb…terima kasih kau telah menitipkan aku pada mereka orang tua yang
luar biasa.
Ibu kembali membuat ku memiliki semangat lagi,
kata-kata ibu kembali memberikan energi yang luar biasa pada ku untuk
menggenggam rasa optimis dan berhusnudzon terhadap ketentuan-Nya.
***
Alhamdulillah
kondisi ku sudah mulai membaik setelah seminggu aku kembali memupuk
kembali seluruh kesabaran dan keikhlasan menjalani ini semua.
”Assalamu’alaikum”
Suaranya
tak asing di telinga ku. Perlahan aku melangkah keluar dengan mukena
putih yang ku gunakan selesai shalat Dhuha aku berusaha mencari tahu
siapa tamu yang datang. Ternyata ku lihat ayah sudah lebih dulu
menemuinya.
“hah…itu kan ustadz Ridwan.” celetukku dalam hati
Tak
lama terdengar suara Ust. Ridwan berbincang-bincang dengan ayah dan ibu
di halaman rumah yang dikelilingi banyak sekali tanaman koleksi ibu.
Beberapa
bulan ini ustadz Ridwan sering sekali mengisi ta’lim di masjid dekat
rumah ku. Aku mengenal baik beliau karena dulu sewaktu kuliah ustadz
Ridwan sering sekali mengisi kajian di kampus ku, karena dulu aku
bersama dengan teman-teman yang lain sering sekali berdiskusi dengan
beliau. Karena pekerjaan, beliau dimutasi di daerah dekat rumah ku.
Namun, alhamdulillah karena aku diberi kesempatan lagi oleh Allah untuk
tetap mendengar tausyiahnya setiap kamis malam di masjid dekat rumah.
Ini adalah kali ke dua ust. Ridwan datang setelah kunjungan pertamanya 2
bulan lalu setelah tahu aku tinggal di sekitar masjid. Dulu kali
pertama ust Ridwan datang bersama dengan istri dan 4 orang anaknya.
Ingin
sekali rasanya aku keluar menemui beliau, namun kepalaku mendadak
sakit. 30 menit setelah ust pulang dari rumah ku, Ibu datang ke kamar ku
dan memberitahukan pada ku soal kedatangan Ust. Ridwan ke rumah.
”Ust. Ridwan tadi datang nduk dan menanyakan kondisi mu.”
”Tadi ana sebenarnya mau keluar bu menemui ust. Ridwan, tapi tiba-tiba kepala ana sakit.”
”Iya ndak apa-apa. Ibu sudah ceritakan pada beliau kalau kondisi mu. Ustadz Ridwan juga memaklumi kok nduk”
”Tadi ibu sama ayah ngobrol apa saja dengan beliau?”
Ibu hanya menjawab dengan senyuman…tapi, senyumnya terlihat aneh kali ini.
”Ibu nih ditanya ana kok malah senyum-senyum”
”Begini nduk, tadi kedatangan Ust. Ridwan ke sini itu khusus ternyata.”
”Khusus bagaimana bu maksudnya?”aku semakin tidak mengerti maksud ibu
”Beliau ingin melamar mu….”
”Hah…apa
bu???Ibu ndak salah kan???bu, Ust. Ridwan itu sudah berkeluarga,
anaknya sudah 4. Masa mau melamar aku?” bagai petasan yang saling
menyahut pertanyaan-pertanyaan itu ku tembakan pada ibu
Dengan
tenangnya dan senyumnya (lagi) ibu menjawab ”Bukan nduk, Ust. Ridwan
ingin melamar mu untuk seorang laki-laki” senyumnya merekah…
Aku terdiam sesaat. “A…a…apa bu? Seorang laki-laki????? Siapa bu?”
”Ustadz Ridwan tidak menyebutkan siapa namanya”
”Ibu
juga ndak tahu siapa orangnya. Insya Allah rencananya besok Ustadz
Ridwan akan datang bersama dengan laki-laki itu untuk silaturahim ke
rumah.”
Masya Allah…kabar ini membuat hati ku berdegub kencang,
bagai petir di siang bolong rasanya mendengarnya. Ada seorang ikhwan
yang akan mengkhitbahku???
”Tapi bu…tapi…”
”Tapi apa nduk?
Laki-laki itu juga sudah tahu bagaimana kondisi mu sekarang dan dia
bersedia menerima mu apa adanya. Tunggu saja besok ya insya Allah
sekitar jam 10 mereka akan datang” katanya sambil mengelus kepalaku
Subhanallah…seperti
apa ketampanan hati ikhwan itu yang mau menerima kondisi ku saat
ini???aku masih saja kaget karena kabar ini begitu sangat tiba-tiba ku
dengar.
***
Setelah semalam aku mencoba
berdialog dengan-Nya, pagi ini aku merasakan kemantapan hati yang luar
biasa untuk menghadapi apapun yang terjadi hari ini. Dengan mengucap
basmalah, aku siapkan diri ku dengan sebaik-baiknya.
Pukul 10.00 tepat terdengar salam Ustadz Ridwan datang…
Masya
Allah, degub jantung ku semakin cepat rasanya. Helaan nafas panjang
berulang-ulang ku ambil berusaha menenangkan diri. Di luar sudah
terdengar perbincangan antara Ibu, Ayah, Ust. Ridwan
dan….dan…ahh..sepertinya aku mengenal suara yang satunya lagi…ku
beranikan diri untuk melihat sosoknya dari balik tirai jendela kamarku…
”…akh
Arya????” aku semakin tak mengerti dengan semua ini. apa aku tidak
salah lihat??? Ah, mungkin salah…sudah 5 tahun aku tidak bertemu
dengannya sejak lulus kuliah. Aku mungkin salah…aku salah…
Selang
30 menit ustadz Ridwan dan ikhwan itupun berpamitan. Tak perlu menunggu
lama ibu kembali mendatangi kamar ku sambil membawa satu bundel kertas…
”Nduk…itu
tadi ustadz Ridwan sudah datang bersama orangnya. Kamu sudah lihat kan?
Ini titipan dari ustadz Ridwan untuk kamu nduk supaya kamu lebih
mengenal orangnya katanya. Nduk, Ibu cocok sekali dengan orangnya,
semoga kamu berjodoh dengan dia ya” terlihat ibu berbicara ku dengan
penuh semangat sambil menyodorkan pada ku satu bundel kertas itu
kemudian Ibu pun pergi meninggalkan ku dengan senyum penuh harap…
Perlahan ku ambil dan ku baca halaman pertama yang bertuliskan
”Teruntuk Ukhtina Ana Annisa, seorang wanita yang ku harapkan berkenan mendampingi ku meraih cinta-Nya hingga ke syurga…”
Ku
buka halaman selanjutnya…”Muhammad Arya”, nama itu…benar ternyata, dia
adalah Arya. Air mata ku semakin deras, subhanallah…Kau kirimkan dia
untuk ku ya Allah. Sosok lelaki bertanggung jawab, mandiri dengan
kecintaannya yang luar biasa pada Mu ya Rabb. Aku masih ingat bagaimana
dia memilih desa-desa kecil dan kumuh sebagai ladang pahala dan kebaikan
baginya, hingga pada akhirnya di desa itu Islam berkembang, kajian
diadakan setiap Jum’at malam. Aku juga ingat dia juga mengajar mengaji
dan memberikan les gratis anak-anak di sana. Ahh…terlalu banyak hal yang
dulu sering membuat ku iri dan malu padanya, karena tak banyak hal yang
dapat ku lakukan untuk ummat ini seperti dia.
Subhanallah…tak
terasa air mata ku mengalir begitu deras membaca semua bagian dari
kertas itu. Karakternya yang dulu pernah ku impikan untuk ku
dampingi…kini Kau hadirkan di hadapan ku ya Rabb dalam sosoknya. Seperti
mimpi rasanya Allah memberikan kebahagiaan ini pada ku dalam waktu
sesaat..Tak ada keraguan atau alasan bagi ku menolaknya.
***
Rencana
pernikahan sudah didiskusikan oleh keluarga ku dan Arya, kami pun tak
ingin terlalu lama setelah kemantapan hati itu kami miliki pada hati
masing-masing. Kemantapan untuk menyempurnakan agama ini dalam menggapai
cinta-Nya. Alhamdulillah akad dan pernikahan kami akan dilaksanakan
besok, tepat 2 minggu setelah Arya dan keluarganya datang ke rumah
mengkhitbahku.
Allah yang menyayangi ku, kembali memberikan
pelanginya untuk ku. Kemarin saat aku pergi ke dokter untuk melakukan
check up 4 bulan setelah operasi, dokter sudah memvonis penyakit kanker
ku saat ini sudah tidak ada. Kabar ini sangat mengagetkan, kanker otak
stadium 3 yang selama 5 tahun bersarang di kepala ku sudah dinyatakan
sembuh. Maha Suci Engkau ya Allah…Ibu…Ayah…seluruh doa ayah dan ibu
dikabulkan oleh Allah. Alhamdulillah
Kebahagiaan yang Allah
berikan tidak hanya sampai di sana, 3 bulan setelah pernikahan kami
nanti aku, ayah, ibu, Arya beserta orang tuanya akan melaksanakan ibadah
haji bersama. Arya yang sebentar lagi akan menjadi suami ku yang akan
memberangkatkan Ayah, Ibu dan aku yang nanti menjadi istrinya pergi
menginjakkan Tanah Suci. Alhamdulillah ya Allah…tak henti-hentinya lisan
ini mengucap syukur pada mu. Pelangi yang ku nanti akhirnya Kau
datangkan…Indah dan lebih indah dari dugaan ku…Sungguh, tak ada satu pun
nikmat-Mu yang pantas ku ingkari…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar